Wednesday, September 21, 2011

Karena Pilihan Itu Bukan Dia

Mataku masih sembab saat dia mendekatiku, duduk disampingku tanpa berkata  sepatah kata pun.  Kami memang sangat dekat, sangat dekat sampai semua orang menganggap kami saudara.  Aku selalu begini, duduk diantara pohon yang semakin kering dimusim panas yang sangat menyengat ini.  Indonesia disaat bulan september ini entah mengapa begitu gersang.  Pohon yang bisa menyejukkan seakan dirinya sendri tak dapat ia sejukkan.  Ranting yang kian kering menyentuh pelipisku dengan lembut, akhirnya saatnya untuk terjatuh tiba.  Mengatakan selamat tinggal untuk ranting-ranting yang masih kuat bercabang lebih banyak hingga saatnya.
“Masih masalah yang sama?” Ai akhirnya mengucapkan kata juga, entah apa yang sedang ia pikirkan tapi  aku tidak berani menjawab. Aku hanya mengangguk dan meninggalkannya bersama mentari  yang kian menyembunyikan dirinya dan membiarkan bulan untuk menampakkan dirinya.  Melewati masjid yang sedang mengumandangkan adzan maghrib, halaman,pohon semua sudut desa ini begitu mengingatkanku pada kenangan yang terus berputar entah terlupakan atau masih terus terukir indah dibenak kanak-kanak lugu itu, dan aku.
Ketika dia bertanya, jadi kamu sekarang akan kemana?
Pulang kak.” Wajahq yang tidak bisa ditebak.  Dia tersenyum dan sedikit tertawa. “saya juga pernah mengalami hal itu dik.  Mau diapakan lagi, itu adalah pilihan orang tua. 
                Kuparkirkan motor di dekat pohon jambu depan rumah.  Hawa panas tadi siang tak tersisa lagi, digantikan dingin yang  kian membutku merapatkan jaketku.  Masa kian berganti membuatku berada di saat ini disaat bukan ku harus memilih dimana akan ku lanjutkan sekolahku. Dari Tk masa yang tak pernah terkekang oleh sipapun, masa SD yang mengenalkanku pada banyak hal yang belum kuketahui. Tentang dunia luar, teman, sahabat dan dia.  Aku terperanjat ketika menemukan diriku yang tidak sepentasnya lagi berlari kesana-kemari dengan rambut ekor kuda atau rambut yang tidak dibolehkan ayah untuk dipotong. Beranjak menjauh dari rumah-rumah ronda*tempat kami bermain dulu setiap sore sepulang dari mengaji.  Apakah aku selalu harus berkata iya pada setiap keputusan yang diberikan orang tuaku seperti saat hari itu.
                “Kamu akan masuk SMP mana?” Dia bertanya padaku.
                Aku terdiam, aku sebenarnya sudah tau jawabannya karena ayah telah memutuskannya semalam.  Tapi entah mengapa ada sebuah butir yang mengambang di mataku saat aku memikirkannya.  Aku betul akan berpisah dari teman-temanku, walau tidak semuanya. 
                Dia berkata lagi, “aku dan ahmad akan masuk SMP 1.”
“Eh, iya.  Aku dan sri masuk smp 3” 
Dia adalah sahabatku, itu yang kutau sejak saat itu, aku kehilangan dia.  Kehilangan seseorang yang kadang hadir bersamaku.  Kadang, karena dia bukan saudaraku atau orang tuaku yang selalu ada didekatku.
                Sekolahku tak jauh dari sekolahnya tapi entah apa yang membuat sehingga mulut kami tak pernah sanggup berkata ketika bertemu, sekedar menyapa mungkin. Itu yang kuharapkan, entah apa bagi dirinya.  Apa semua akan terus begini sejak harapan untuk minta maaf padanya di hari perpisahan sekolah juga tak sempat kuucapkan. 
                ***
“Bagaimana keadaanmu? Baik?”
“Baik”
Aku bahagia, walau mungkin kita takkan seperti saat kanak-kanak dulu.  Aku menggit bibir.  Apa ada alasan untuk ini?  Apa perbedaan selalu membuat cara pandang berbeda.  Percakapan setelah 9 tahun, sejak kita tak pernah menyapa.  Kau tidak perlu tau apa yang sebenarnya kurasakan, ini cukup aku yang tau.  Perasaan yang tidak pernah kutanyakan mengapa harus ada.  Tapi aku tau ketika aku ikhlas semua akan tergantikan dengan takdir yang lebih indah.  Kita dipertemukan dengan oleh takdir, aku bersyukur akan takdir itu, membuatku sadar bukan aku tidak dapat memilih, tapi Allah telah memilihkan yang terbaik dimatanya untukku.
                Seseorang kini menemaniku duduk menunggu matahari terbenam di bawa pohon itu, yang kini sedang subur, udara yang berhembus begitu sejuk.  Matahari sebentar lagi terbenam, tangannya sedang sibuk memainkan dot yang sudah habis dihisap oleh boneka kecil kami yang sedang tidur terlelap dipangkuannya.  Sebentar lagi dia harus ke masjid memenuhi kewajiban.  Apakah dia seperti yang hadir dimimpiku, yang pernah kuceritakan pada aini?. Tidak dia jauh lebih Indah dari yang kumimpikan.  Air mata itu kini betul-betul jatuh bersama matahari yang kian tenggelam, air mata bahagia.